Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia

0 komentar

Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia

Oleh: Hastjarjo B Wibowo
Awal Pendidikan DKV
Diawali dengan Jurusan Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi Grafik (REDIG) pada 15 Januari 1950 dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun 1969 bersamaan dengan berubahnya ASRI menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Jurusan REDIG dipecah menjadi Jurusan Seni Reklame, Jurusan Seni Dekorasi dan Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1972 STSRI “ASRI” menyelenggarakan ujian S-1 yang pertama kali untuk para BA Seni Reklame. Nama Jurusan Seni Reklame dipakai sampai tahun 1982. Pada tahun 1983 Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi. Pada tahun 1984 bersamaan dengan perubahan STSRI “ASRI” menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta melalui fusi dengan Akademi Musik Indonesia (AMI) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Jurusan Disain Komunikasi berubah menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual hingga saat ini.
Tahun 1967 dirintis Studio Grafis Jurusan Seni Rupa di FTSP ITB. Pada tahun 1973 dipecah menjadi Studio Seni Grafis dan Desain Grafis. Tahun 1984 Studio Desain Grafis berdiri sendiri. Pada tahun 1994 Studio Desain Grafis berubah menjadi Studio DKV di bawah Jurusan dan pada tahun 1997 menjadi Program Studi DKV di bawah Departemen Desain. Tahun 2006 menjadi Program Studi DKV setingkat Jurusan di bawah fakultas.
Pendidikan Tinggi DKV berdiri di IKJ pada tahun 1977, DKV Universitas TRISAKTI tahun 1979, DKV UNS tahun 1981, DKV Universitas UDAYANA (UNUD) tahun 1981 (FSRD UNUD akhirnya menjadi ISI Denpasar setelah fusi dengan STSI Denpasar).
Era 1990-2000an
1990 ditandai dengan berdiri DKV di STISI Bandung dan kemudian diikuti oleh UPH pada tahun 1994. Hingga sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi DKV telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di beberapa kota lainnya. Saat ini beberapa universitas negeri eks IKIP bahkan eks IAIN telah dan berencana membuka jurusan/program studi DKV terutama yang mempunyai jurusan seni rupa.
Pertumbuhan pendidikan DKV tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi dan media informasi maupun gaya hidup. Hampir semua sektor seperti konsumsi, hiburan, media, infrastuktur, properti, keuangan, pendidikan dan sebagainya membutuhkan sentuhan desainer komunikasi visual. Fenomena ini yang membuka peluang tumbuhnya profesi-profesi baru terkait dengan DKV yang pada akhirnya meningkatkan permintaan akan jasa pendidikan DKV.
Jika dulu seseorang mempunyai cita-cita keren dengan menjadi dokter, insinyur, dan pilot namun sekarang di era ekonomi kreatif profesi-profesi di bidang kreatif mulai menjadi pilihan utama. Menjadi musisi, penulis, DJ, film maker, animator dan desainer komunikasi visual menjadi salah satu pilihan profesi favorit saat ini di samping banyak profesi di bidang kreatif lainnya.
Jenjang Pendidikan Tinggi DKV
Masalah lain yaitu rancunya jenjang pendidikan DKV, mengakunya S-1 tetapi tidak punya kemampuan akademik hanya jago mengoperasikan komputer. Orang bilang “thinking”nya nggak ada! Nggak konseptual! Padahal dalam sistem pendidikan nasional sudah jelas ada pendidikan professional stream dan academic stream (meminjam istilah pak A.D. Pirous) atau istilah mudahnya pendidikan berbasis industri dan pendidikan berbasis wacana.
Penyelenggara pendidikan tinggi DKV dalam memasarkan produknya menjanjikan lulusan sarjana S-1 yang siap pakai di industri. Akibatnya kurikulum akhirnya dikemas bak politeknik yang lebih mementingkan skill bukan kemampuan akademik semata. Dampak lainnya di antaranya tingkat riset yang bermutu di jurusan DKV sangat rendah dikarenakan dosen-dosennya juga banyak yang berasal dari produk kurikulum salah kaprah tersebut sehingga kemampuan risetnya sangat rendah.
Padahal dalam sistem pendidikan nasional jelas-jelas sudah ada wadahnya bagi PT DKV yang ingin menciptakan lulusannya seorang sarjana profesional yaitu melalui program D-4 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Alangkah bijaknya jika PT DKV membuka dua jalur program yaitu S-1 untuk yang beminat di bidang akademik dan program D-4 untuk yang ingin menjadi profesional di bidang DKV. Bagi lulusan S-1 silahkan melanjutkan ke S-2 dan S-3, sementara bagi lulusan D-4 dapat mengambil sertifikasi-sertifikasi profesional baik nasional maupun internasional.
Bagi para penyusun kurikulum juga akan lebih mudah dalam membuat kurikulum pendidikannya sehinga tujuannya dapat dicapai. Tidak seperti yang banyak terjadi mahasiwa ditekan agar menjadi sarjana profesional sekaligus konseptual dalam waktu 8 semester yang cukup pendek.
Diperlukan suatu keberanian dari penyelengara pendidikan tinggi DKV untuk secara jujur menyatakan jenjang pendidikannya D-4 atau S-1. Bukan menjadi banci atau hanya sebagai kemasan dalam strategi pemasaran yang menjurus pada penciptaan kebohongan publik.
Mahasiswa DKV
“Pokoknya kerenlah!” kuliah di DKV ujar seorang anak muda yang menganggap pilihan kuliahnya merupakan bagian dari gaya hidup kontemporer. Namun besarnya animo kuliah DKV seringkali tidak dibarengi dengan effort dalam berkarya. Hal ini dapat dirasakan makin sulitnya mengajar mahasiswa DKV jika dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Mahasiswa DKV generasi sekarang sering mengabaikan proses dalam berkarya, inginnya serba instan. Inginnya langsung menjadi desainer yang sakti mandraguna, kaya dan terkenal tanpa mau bersusah payah. Di lorong-lorong kampus sering ditemui mahasiswa menenteng-nenteng notebook canggih MacBook Pro terbaru namun bukan untuk menyelesaikan tugas hanya cukup puas untuk mengelola “facebook”. Keadaan ini dimungkinkan terjadi karena makin sejahteranya para mahasiswa DKV. Biaya kuliah dan overhead yang harus ditanggung untuk menyelesaikan kuliah DKV cukup tinggi sehingga otomatis yang mampu berkuliah juga mempunyai tingkat ekonomi cukup baik. Sehingga seringkali daya beli lebih menjadi pertimbangan penting bagi pemilik pendidikan tinggi dalam menerima mahasiswa bukan karena kemampuannya. Kalaupun pendidikan tinggi menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu yang berprestasi jumlahnya pun tidak signifikan. Memang tidak semua mahasiswa berperilaku buruk namun dirasakan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Selamat bekerja keras para dosen! Dibutuhkan effort yang luar biasa bagi dosen dalam menjalankan tugasnya, juga bagi mahasiswa agar dapat menyelesaikan kuliah DKV. Bagaimana tidak? Bagi mahasiswa tidur menjadi barang yang mewah karena harus begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tak kunjung henti.
Semakin berkembangnya pendidikan tinggi DKV secara kuantitas juga membuat persaingan antar mahasiswa maupun lulusan DKV semakin keras. Tiap tahun ribuan mahasiswa DKV mencari tempat untuk kerja praktek dan harus bersaing dengan sengitnya mengingat keterbatasan tempat yang tersedia di industri terkait. Demikian juga lulusan DKV harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kesempatan kerja. Waktu tunggu dalam mendapatkan pekerjaan juga semakin panjang.
Di sisi lain mahasiswa sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang baik dalam fasilitas pembelajaran di kampus yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam promosinya, kurikulum yang seringkali lebih bagus tertulis daripada implementasinya, dosen-dosen dengan kompetensi yang rendah karena kurang “gaul”. Dalam menghadapi kenyataan seperti itu seringkali mahasiswa hilang daya kritisnya hanya menerima saja tanpa menuntut hak yang sewajarnya harus diterimanya. Bermacam sanksi akan diterima mahasiswa jika tidak menuntaskan kewajibannya terhadap kampus mulai dari pembatasan SKS yang diambil, tidak boleh ikut kuliah dan sebagainya, sementara hak-hak mahasiswa seringkali diabaikan oleh penyelenggara pendidikan. Penyelenggara pendidikan selalu menyatakan diri sebagai lembaga nirlaba, jadi seolah-olah hubungannya dengan mahasiswa bukanlah hubungan antara penjual jasa dan konsumen. Dengan demikian posisi penyelenggara pendidikan ditempatkan secara lebih kuat dibandingkan dengan posisi mahasiswa. Apakah betul penyelenggara pendidikan di jaman sekarang masih murni berpikir seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa nya? Sebagian kecil iya, sebagian besar tidak. Bagaimana tidak? Mengambil formulir pendaftaran yang seharusnya gratis harus ditebus dengan uang ratusan ribu rupiah! Dengan dalih untuk menyeleksi minat calon mahasiswa agar tidak sembarang orang mendaftar, jika hanya sekedar mengganti ongkos cetak tentunya tidak semahal itu. Bukankah katanya pendidikan untuk semua orang?
Pendidikan merupakan industri yang luar biasa besar karena tidak mengenal krisis ekonomi dan pendidikan merupakan kebutuhan primer setelah makan. Jadi hubungan penyelenggara pendidikan dengan mahasiswa merupakan hubungan antara penjual jasa dan konsumennya. Jadi ketika penjual jasa pendidikan lalai memenuhi kewajibannya tuntutlah mereka di pengadilan. UU Perlindungan Konsumen memberikan jaminan.
Penyelenggara Pendidikan DKV
Bagi para penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, tingginya demand terhadap DKV merupakan potensi untuk mendapatkan keuntungan. Tentunya penyelenggara pendidikan membuka pendidikan DKV dengan perhitungan yang matang. Bohong besar jika membuka jurusan DKV tidak ada motivasi untuk mendapatkan keuntungan, bagaimana mungkin membiayai infrastruktur dan operasional yang cukup besar. Namun dengan makin banyaknya Perguruan Tinggi (PT) DKV akan semakin tinggi pula kompetisi dalam menjaring mahasiswa. Mekanisme pasarlah yang akan menyeleksi sehingga perguruan tinggi terbaiklah yang akan bertahan. Beberapa PT DKV terbaik setiap tahun menerima lamaran dari ribuan calon mahasiswa. Dari formulir yang dijual Rp 200 ribu – Rp 800 ribu saja PT tersebut dapat meraup ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi dari uang pangkal, uang gedung, uang SKS, uang daftar ulang maupun sumbangan ini itu. Tidak heran semakin lama yang dapat menikmati pendidikan tinggi DKV hanya kaum berpunya. Hanya sebagian kecil mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, mendapatkan fasilitas beasiswa. Namun mereka juga dijadikan obyek iklan pencitraan tanggung jawab sosial oleh para penyelenggara pendidikan sebagai selubung naluri kapitalisnya.
Ketika demand pendidikan DKV pada suatu PT DKV sangat tinggi, maka kelas paralel yang dibukapun semakin banyak, karena keuntungan yang diperoleh akan menjadi berlipat ganda. Seringkali PT DKV memaksakan diri dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya meskipun infrastruktur pendidikan maupun rasio dosen-mahasiswa tidak menunjang. Dengan menerima mahasiswa yang sebanyak-banyaknya berarti melonggarkan parameter kriteria mahasiswa yang diterima. Laris manis!
Kegiatan marketing dilakukan dengan sangat agresif dan seringkali menafikan substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan menjadi komoditas ekonomi, sehingga “marketing menjadi panglima” dan para operator (struktural di jurusan/program studi/dosen) menjadi subyek penderita. Aneh subyek kok penderita? Demikian lihainya penyelenggara pendidikan mengemas kegiatannya sebagai bentuk kegiatan nirlaba namun perilakunya bak kapitalis sejati. Ironis.
UU BHP yang baru saja disahkan menuntut semua satuan pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi Badan Hukum Pendidikan paling lambat dalam 6 tahun ke depan. Di dalam salah satu pasal UU BHP tercantum bahwa Badan Hukum Pendidikan diperkenankan mempunyai investasi dalam bentuk portofolio dan diperkenankan mendirikan badan usaha berbadan hukum. Secara tersurat dalam UU ini jelas membuka peluang bagi BHP untuk berperilaku sebagai kapitalis meskipun tujuan yang diharapkan sangat mulia yaitu untuk membiayai pendidikan. Semoga saja tidak menjadi kedok semata karena bukan tidak mungkin dengan metode “money laundring” yang canggih dapat disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Bukan tidak mungkin UU BHP ini akan memunculkan konglomerasi pendidikan. Tidak heran UU BHP ini menuai pro dan kontra yang berkepanjangan. Mencoba berpikir positif semoga UU BHP benar-benar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.
Dosen DKV
Bagaimana nasib para dosen DKV sebagai ujung tombak dari pendidikan? Apakah menjadi lebih sejahtera, lebih makmur dengan booming pendidikan DKV? Memang kebahagiaan tidak dapat hanya diukur dari kesejahteraan dan kemakmuran. Bahagia itu soal hati yang personal sifatnya, maka orang sejahtera dan orang yang makmur belum tentu orang yang berbahagia. Sebagian dari dosen menyatakan bahwa pilihan profesinya diambil karena senang mengajar bukan semata-mata mencari uang. Mungkin juga ada yang berpikir di dalam hati menjadi dosen karena profesi yang aman meskipun penghasilannya tidak banyak namun tidak terkena imbas krisis secara langsung. Daripada menanggung resiko bekerja di industri DKV yang masih labil dengan pengalaman menyakitkan ditindas klien, persaingan yang semakin keras karena harus bersaing dengan mahasiswa freelance dan sebagainya. Menjadi dosen dan alasannya merupakan suatu pilihan bebas dan personal.
Pada kenyataannya penghargaan material kepada dosen masih memprihatinkan. Masih banyak dosen DKV yang dibayar terlalu murah hanya belasan ribu per SKS plus tunjangan transpor yang sekedarnya, sehingga tidak mampu membeli buku dari gajinya sebagai dosen! Lebih celaka lagi kalau mengajar menjadi satu-satunya profesi. Mungkin dengan adanya UU Guru dan Dosen yang dampaknya semoga sudah dirasakan oleh para dosen PTN dengan menjadi lebih sejahtera. Untuk dosen PTS semoga bisa bersabar menantikan kehadiran kesejahteraan yang biasanya disertai berbagai persyaratan culas yang membuat perut mulas.
Mungkin diperlukan suatu asosiasi dosen DKV untuk memberdayakan profesi dosen sehingga mempunyai posisi tawar yang baik terhadap penyelenggara pendidikan, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Jika para buruh saja mampu berasosiasi, mengapa para dosen DKV tidak? Asosiasi akan berguna sebagai medium aspirasi para dosen DKV baik internal sebagai wadah capacity building maupun eksternal sebagai payung sekaligus senjata dalam memperjuangkan kepentingan dosen DKV secara politis. Ayo para dosen DKV bersatu dalam asosiasi!
Industri DKV
Masalah lainnya yaitu belum berdayanya industri DKV dengan masih merajalelanya free pitching, pitching fiktif, pitching massal dan sebagainya. Hal tersebut salah satunya disebabkan belum kuatnya asosiasi profesi terkait dengan DKV dalam memperjuangkan kepentingannya. Asosiasi masih enggan untuk melakukan aktivitas politis untuk memperkuat kedudukannya dengan melakukan lobi lintas asosiasi, pemerintah maupun parlemen. Tanpa melakukan itu mustahil asosiasi dapat mencapai tujuannya dan hanya menjadi wahana gathering bagi pengurus dan anggotanya. Kita dapat melihat betapa kuatnya kedudukan asosiasi-asosiasi profesi lainnya di hadapan pemerintah.
ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) sebagai salah satu asosiasi rujukan dalam profesi terkait DKV sampai saat ini masih belum selesai berkonsolidasi secara internal. Jangankan untuk beraktivitas secara politis. ADGI masih harus menyelesaikan PR dengan membuat standar perilaku usaha dan etika profesi yang harus disepakati semua pemangku kepentingan. Mungkin juga membuat standar pricing maupun standar salary berdasarkan survei sebagai acuan. Menyelesaikan masalah sertifikasi profesi desainer grafis yang masih dalam proses penggodogan dengan departemen terkait. Sertifikasi ini menjadi penting sehubungan dengan sifat terbukanya profesi desainer grafis. Seorang desainer grafis dapat dilatarbelakangi pendidikan desain namun banyak juga dengan latar belakang pendidikan berbeda bahkan otodidak. Kondisi ini juga perlu mendapat perhatian dari dunia pendidikan tinggi DKV. Pendidikan Tinggi DKV dapat berperan dalam memberikan sumbangan pemikiran kepada industri terkait jangan hanya semata-mata mengelontor industri dengan produk lulusan secara kuantitas tapi mengabaikan kualitas. Masih panjang perjalanan ADGI sebagai salah satu asosiasi profesi dalam memperjuangkan pemberdayaan profesi desainer komunikasi visual.
Penutup
Meskipun ditinjau dari sejarahnya pendidikan DKV telah dirintis sejak 59 tahun yang lalu namun masih banyak membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan yang harus terus dilakukan agar dapat beradaptasi dengan kemajuan jaman. Perkembangan teknologi dan media informasi telah membawa harapan bagi DKV baik sebagai disiplin keilmuan maupun disiplin praktis untuk dapat berkontribusi secara lebih luas pada peradaban manusia.
Potensi sumber daya manusia kreatif Indonesia juga membawa harapan bagi tumbuhnya kreator-kreator di bidang kreatif yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Selain sumber daya manusia kreatif yang melimpah, budaya dan warisan budaya Indonesia dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya dalam berkarya. Kemajuan DKV menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan yang terlibat. Sinergi semua pemangku kepentingan akan membawa DKV lebih bermartabat.

Aturan Membuat Logo Brand

0 komentar
Daftar ini merupakan eksplorasi desain prinsipal yang digunakan dalam beberapa logo dunia yang paling terkenal.
Pada saat yang sama, daftar diciptakan sebagai cara bagi desainer untuk pertanyaan diri mereka sendiri dan teknik-teknik kreatif yang mereka gunakan saat membuat desain logo.Memaksa pembaca untuk merefleksikan tidak hanya pada daftar yang sebenarnya, tetapi juga pada reaksi mereka satu sama wawasan yang terdaftar, aturan terakhir adalah yang paling penting.
  1. Jenis harus cukup mudah bagi nenek Anda untuk membaca.
  2. Logo harus dikenali.
  3. Buat bentuk yang unik atau layout untuk logo.
  4. Konfirmasikan bahwa logo terlihat menarik lebih dari sekadar tiga orang (3).
  5. Jangan menggabungkan elemen dari logo populer dan mengklaimnya sebagai karya asli.
  6. Jangan gunakan clipart dalam kondisi apapun.
  7. Logo harus terlihat baik dalam warna hitam dan putih.
  8. Pastikan bahwa logo tersebut dikenal ketika terbalik.
  9. Pastikan bahwa logo tersebut dikenal ketika ukurannya.
  10. Jika logo berisi ikon atau simbol, serta teks, setiap tempat sehingga mereka melengkapi satu sama lain.
  11. Hindari tren desain logo baru-baru ini. Sebaliknya, membuat logo tampilan abadi.
  12. Jangan gunakan efek khusus (termasuk, namun tidak terbatas pada: gradien, bayangan, refleksi, dan semburan cahaya).
  13. Pasang logo ke dalam layout persegi jika mungkin, hindari layout jelas.
  14. Hindari rumit rincian.
  15. Pertimbangkan tempat yang berbeda dan cara-cara yang logo akan disajikan.
  16. Panggil perasaan menjadi berani dan percaya diri, tidak pernah membosankan dan lemah.
  17. Sadarilah bahwa Anda tidak akan membuat logo yang sempurna.
  18. Gunakan garis tajam untuk bisnis yang tajam, garis halus untuk bisnis halus.
  19. Logo harus memiliki beberapa sambungan apa itu mewakili.
  20. Sebuah foto tidak membuat logo.
  21. Anda harus kejutan pelanggan dengan presentasi.
  22. Jangan menggunakan lebih dari dua huruf.
  23. Setiap elemen logo perlu disejajarkan. Kiri, tengah, kanan, atas, atau bawah.
  24. Logo harus terlihat padat, tanpa unsur trailing.
  25. Tahu siapa yang akan melihat logo sebelum Anda memikirkan ide-ide untuk itu.
  26. Selalu memilih fungsi dari inovasi.
  27. Jika nama merek mudah diingat, nama merek harus logo.
  28. Logo harus dikenali ketika cermin.
  29. Bahkan perusahaan-perusahaan besar membutuhkan logo kecil.
  30. Setiap orang harus seperti desain logo, bukan hanya bisnis yang akan menggunakannya.
  31. Buat variasi. Variasi lebih, semakin besar kemungkinan Anda untuk melakukannya dengan benar.
  32. Logo harus melihat konsisten di beberapa platform.
  33. Logo harus mudah untuk menjelaskan.
  34. Jangan gunakan slogan di logo.
  35. ide keluar Sketch menggunakan kertas dan pensil sebelum bekerja pada komputer.
  36. Jaga sederhana desain.
  37. Jangan menggunakan “disiram” atau “dunia” simbol.
  38. Logo tidak boleh mengganggu.
  39. Ini harus jujur ​​dalam perwakilannya.
  40. Logo harus seimbang secara visual.
  41. Hindari warna neon terang, dan gelap, warna kusam.
  42. Logo tidak boleh melanggar salah satu aboverules.

sumber: http://tannerchristensen.com/rules-for-logo-design/

Arti dan Filosofi Warna

0 komentar

Warna adalah getaran. Getaran itu selalu kita respon, secara sadar maupun tidak. Warna memengaruhi kenyamanan lingkungan dan mood. Warna yang kita kenakan sehari-hari memengaruhi pandangan orang lain terhadap kita. Berikut ini adalah filosofi dan arti karakter warna:

Merah
Sifat merah memberi stimulasi dan dominan. Erat kaitannya dengan sifat hangat serta kemakmuran, tetapi juga menggambarkan kemarahan, malu dan kebencian. Untuk ruangan, merah mengurangi ukuran, tetapi memperbesar ukuran objek Warna merah menandakan hasrat, intensitas, dan keinginan besar untuk selalu maju. Juga menyimbolkan kehangatan, cinta, nafsu, power, dan energi. Dalam budaya oriental, merah sangat disukai karena memiliki arti bahagia.

Kuning

Warna kuning termasuk warna hangat yang membawa keceriaan bagi penggunanya. Namun warna kuning ini juga melambangkan optimisme, harapan, serta filosofi yang dalam Erat dengan pencerahan dan intelektualitas. Sifatnya menstimulasi otak dan membantu pencernaan. Sifat positifnya adalah optimisme, akal, dan ketegasan. Sifat negatifnya, berlebihan dan kekakuan.

Hijau
Warna hijau termasuk dalam kelas warna ‘dingin’ dan membawa kesegaran pada mata. Hijau melambangkan kesegaran, kesehatan, kealamian, dan pembaharuan Simbol pertumbuhan, kesuburan, dan harmoni. Hijau adalah warna menenangkan dan menyegarkan. Sifat positifnya, optimisme, kebebasan, dan keseimbangan. Warna Hijau tidak terlalu 'sukses' untuk ukuran Global. Di Cina dan Perancis, kemasan dengan warna Hijau tidak begitu mendapat sambutan. Tetapi di Timur Tengah, warna Hijau sangat disukai.

Biru
Warna biru merupakan salah satu warna dasar dan melambangkan kepercayaan, keamanan, teknologi, kebersihan, serta keteraturan. Warna biru termasuk warna dingin dan membawa ketenangan bagi yang melihatnya damai dan menyejukkan. Biru juga terkait dengan spiritualitas, kontemplasi, misteri, dan kesabaran. Asosiasi positifnya, rasa percaya dan stabilitas. Biru memberi kesan luas pada ruangan. Banyak digunakan sebagai warna pada logo Bank di Amerika Serikat untuk memberikan kesan kepercayaan.

Putih
Warna putih menyimbolkan kesucian, karenanya sering digunakan pada upacara pernikahan, juga ketepatan, ketidak bersalahan, kebersihan, dan banyak digunakan di rumah-rumah sakit sebagai tanda kesetrilan. Simbol awal baru, kemurnian dan kesucian. Kualitas positifnya, bersih dan segar.

Hitam
Warna hitam seringkali digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan ketegasan seseorang. Banyak kemasan menggunakan warna hitam untuk memberi kesan Elegan dan Anggun Misterius dan independen adalah sifat hitam. Positifnya, daya tarik dan kekuatan.

Cokelat
Warna cokelat menggambarkan stabilitas dan bobot. Sifat positifnya kestabilan dan keanggunan. Warna ini merupakan warna dari tanah dan bumi, melambangkan kepercayaan, kedewasaan, dan daya tahan. Warna natural ini membawa kenyamanan bagi sekelilingnya sehingga banyak digunakan untuk mendekorasi ruangan. Kemasan makanan di Amerika sering memakai warna Coklat dan sangat sukses, tetapi di Kolumbia, warna Coklat untuk kemasan kurang begitu membawa hasil.

Silver
Warna silver menyimbolkan intelektualitas dan teknologi yang tinggi. Warna ini banyak digunakan untuk menggambarkan millennium dan masa depan. Sebagai warna logam, silver mencerminkan jiwa muda pemakainya.

Ungu
Warna ini banyak dipakai dikalangan kerajaan atau bangsawan, serta pemimpin-pemimpin romawi kuno. Dari latar belakang ini, tak heran bila ungu menandakan aura kekuatan dan kemegahan.

Orange

Perpaduan warna kuning dan merah ini, menyimbolkan energi, keseimbangan, dan kehangatan. Dipercaya dapat menambah nafsu makan sehingga warna ini banyak digunakan di rumah makan.

Emas
Warna emas yang diambil dari warna logam mulia ini menyimbolkan kemewahan dan kekayaan bagi penggunanya, juga menunjukkan kekekalan dan kesetiaan.

Pink
Warna pink atau merah muda ini berasal dari percampuran warna merah dan putih. Warna ini banyak dipakai sebagai lambing cinta kasih dan kefeminiman.

Prinsip Design Grafis

Prinsip-prinsip desain membantu menentukan bagaimana menggunakan elemen desain. Ada empat prinsip desain: keseimbangan, penekanan, irama, dan kesatuan. Prinsip-prinsip desain membantu anda untuk menggabungkan berbagai elemen desain ke dalam tata letak yang baik.

Keseimbangan

Setiap elemen pada susunan visual berat yang telah ditentukan oleh ukurannya, kegelapan atau keringanan, dan ketebalan dari baris. Ada dua pendekatan dasar untuk menyeimbangkan. Yang pertama adalah keseimbangan simetris yang merupakan susunan dari elemen agar merata ke kiri dan ke kanan dari pusat. Yang kedua adalah keseimbangan asimetris yang merupakan pengaturan yang berbeda dengan berat benda yang sama di setiap sisi halaman. Warna, nilai, ukuran, bentuk, dan tekstur dapat digunakan sebagai unsur balancing.

Simetris bisa menjadi kekuatan dan stabilitas publikasi, presentasi, dan situs web. Asimetris dapat menyiratkan kontras, berbagai gerakan, mengejutkan dll. Hal ini cocok untuk modern dan publikasi hiburan, presentasi, dan situs web.
 

Copyright © 2010 • INDOPRATAMA GRAFIKA • Design by Dzignine, Blogger Blog Templates